Merawat Jejak Kolonial di Perpustakaan Bank Indonesia Surabaya

Akhirnya saya memutuskan untuk berkunjung ke perpustakaan,  ketika beberapa lektur digital yang saya temukan di dunia maya tidak banyak membantu menarik ide dari dalam kepala.

Emil anak kami yang masih berusia 3 tahun, dengan sedikit kesusahan merapal sebagian perkataan, ketika saya hendak mengajaknya jalan-jalan, bukan ke taman bermain atau mall.

Saya akan mengajaknya masuk Perpustakaan Bank Indonesia

“Pepstakan..apa ?”

Kami pun menjelaskan dengan kalimat sederhana yang dipahaminya.

Saat itu cuaca sedikit mendung, dari  Terminal Purabaya, kami menumpang Bus Suroboyo, tujuan kami adalah Museum Mpu Tantular yang kini dialihfungsikan menjadi Perpustakaan Bank Indonesia.

Di dalam bus  yang merayap di tengah sibuknya jalanan kota, saya mencoba membayangkan bagaimana rupa bangunannya sekarang.

Rumah Besar Sang Meneer

Setengah jam berada dalam bus, kami pun turun di jalan Mayangkara, sejenak saya lemparkan pandangan ke rumah besar bergaya indische beraliran eklektisisme berbingkai pagar berbentuk figur tubuh manusia, atapnya yang menyerupai limasan pendapa Jawa, terlihat besar mendominasi dengan sudut kemiringan yang berbeda.

Eks. Museum Mpu Tantular
Pagar rumah yang kalau diperhatikan seperti figur tubuh manusia

Struktur bangunan eks. Museum Mpu Tantular ini tidak banyak berubah seperti terakhir kali saya kemari, ketika masih dalam proses pemindahan lokasi ke Sidoarjo dan pengembalian bangunan ke pihak Bank Indonesia.

Gedung yang dibangun pada tahun 1921 ini, masih terlihat kokoh dan terawat, dengan dikelilingi rumput pendek hijau dan beberapa pohon di setiap sisi taman, menambah suasana asri sisi luar bangunan.

Terletak tepat di seberang kebun binatang tertua Surabaya, perpustakaan ini dulunya dikenal sebagai rumah besar dan termewah pada zamannya, Woning voor Agent van Javasche Bank, rumah para pejabat  De Javasche Bank te Soerabaja.

Salah seorang pejabat De Javasche Bank yang pernah mendiami rumah besar ini adalah W.Verploegh-chasse.

Ketika Belanda hengkang dan Jepang menguasai Surabaya, rumah ini sempat digunakan sebagai tempat tinggal  Panglima Angkatan Laut dari Kekaisaran Jepang

Setelah kemerdekaan, bangunan ini berubah nama menjadi Bank Indonesia dan menjadi kantor utama BI, namun hanya 20 tahun saja.

Mungkin untuk mempertahankan jejak sejarah kolonialnya, bangunan yang merupakan salah satu dari banyaknya cagar budaya yang ada di Surabaya ini berubah-ubah fungsinya, sempat digunakan sebagai rumah dinas Komando Militer Surabaya, kantor pemerintahan, Museum Mpu Tantular dan yang terakhir digunakan sebagai perpustakaan BI.

Bangunan cagar budaya (BCB) – SK Walikota Nomor 188.45/251/402.104/1996 Nomor Urut 53

Dirancang Jarak Jauh

Rumah besar berarsitektur art deco yang berdiri di areal seluas 4.140m² tersebut, terlihat begitu detil dan berornamen, saya tidak menyangka Ed. Cuypers Bureu sebagai arsiteknya merancang ini semua tanpa menjejakkan kakinya di Indonesia, bangunan ini dikerjakan jarak jauh, terasa mustahil ketika teknologi saat itu belum semaju sekarang.

Namun nyatanya berhasil.

Cuypers menulis rancangannya di buku yang lalu ia kirimkan melalui  kapal, berbulan-bulan lamanya, hingga buku berisi rancang bangun itu sampai, lalu diterjemahkan oleh biro arsitek Belanda di Indonesia.

Menurut informasi, beliau jugalah yang mendesain beberapa gedung diantara banyaknya bangunan peninggalan kolonial di Surabaya yang masih berdiri hingga saat ini.

Bangunan ini beberapa kali mengalami pembaharuan dengan melibatkan ahli cagar budaya, untuk memasang atau menambah sesuatu pun tidak bisa sembarangan, seperti cat, mereka harus mendatangkan langsung dari Jerman.

Sungguh istimewa rumah besar kolonial ini.

Mempunyai ventilasi yang banyak dan jendela patri disetiap sisi-sisinya
Kaca patri sebagai jalan masuknya cahaya yang terdapat di Voorgalery

Perpustakaan Bank Indonesia

Kami masuk melalui pagar besi yang dibuka hanya selebar badan, sempat ragu tidak akan mendapatkan informasi yang saya cari, kalau saja tidak ada petugas taman yang memberitahukan bahwa perpustakaan ini buka.

Kami melewati voorgalery  yang sepi, berdasar arahan petugas taman, kami masuk melalui Kamer KT1, kamer di sini dalam Bahasa Belanda, yang berarti kamar.

Setelah menunjukan kartu  identitas dan mengisi buku tamu digital, petugas perpustakaan memberikan kunci locker untuk menyimpan tas.

Sangking minimnya suara, saya tersadar, sepatu yang saya pakai sungguh berisik, hingga mengeluarkan suara berdecit ketika beradu di ubin saat kami melewati ruang dalam bangunan ini.

Kamer KT2, Vetbula, Kamer KB2, Achler Galery dan kamer KT3, seluruh ruang tersebut saling terhubung, buku-buku tersusun rapi di rak kayu berkelir coklat, meskipun tidak semua buku bersampul,  namun semua buku cukup terawat tanpa cacat.

Sedangkan ruang baca anak yang terletak di Kamer KB3 didesain berbeda, penuh warna.

Kamer KB3 – perpustakaan anak
Tempat yang mengasyikan, kami tak ingin beranjak

Dari brosur yang saya baca, perpustakaan ini menyediakan lebih dari 15.000 buku, 65 persen diantaranya merupakan buku tentang moneter, ekonomi dan perbankan, sisanya meliputi pengetahuan umum hingga sastra.

Di beberapa sudut yang lain terpajang sepeda jengki kuno tersanding apik dengan deretan sofa empuk berkelir keabuan, menyatu serasi dengan suasana perpustakaan yang nyaman.

Dinding-dinding ruang yang tinggi dan kokoh seperti menjadi saksi kemakmuran penghuninya terdahulu, dengan bentuk linier dan geometris, jendela-jendela berteralis di rumah besar ini sengaja membiarkan pendar matahari masuk begitu mudah, sehingga ruang baca yang luas ini cukup terang meskipun lampu dimatikan.

Udara dalam ruangan juga terasa sejuk dengan letak lubang ventilasi tinggi, membuat ruangan tidak pengap, bangunan ini jauh dari kusam, bau dan tak terurus.

Archter Galery
Vetbula yang diapit kamer KT2 dan Kamer KB2, lurus kedepan menuju Archter Galery dan Louge

Seolah ingin mempersiapkan tongkat estafet ke tangan generasi penerusnya, untuk merawat jejak kolonial sebagai pengingat sejarah lahirnya bangsa, tanpa mengubah banyak bentuk aslinya, setiap ruangan dalam perpustakaan ini bermetamorfosa menyesuaikan kebutuhan literasi masa kini, 18 personal komputer dan jaringan internet bebas diakses  siapa saja yang mencari pengetahuan.

Ruang komputer
Louge yang diubah menjadi ruang kreatif

Pengunjung saat itu rata-rata mahasiswa, mereka mengambil duduk dibeberapa tempat, di pinggir dan tengah, berdiskusi sesekali berdiri  mengambil buku, mencari referensi dari beberapa komputer yang telah disediakan, sampai-sampai ada yang tertidur di atas sofa dengan buku tertangkup di muka.

Bagi saya perpustakaan ini seperti gadis penyendiri yang hadir dengan penampilan sederhana dan klasik, namun mempunyai pikiran modern, cerdas juga ramah, apapun yang kau tanyakan, dia akan memberikan jawaban dengan cara yang manis dan membuatmu nyaman.

Apa kau tidak jatuh hati dan mempertahankannya mati-matian ?

Rumah besar ini hanyalah salah satu dari saksi bisu perjuangan arek-arek Suroboyo merebut kemerdekaan dari masa ke masa, yang terselip di antara dinamisnya pembangunan Surabaya.

Semoga cagar budaya ini tidak menjadi bab yang hilang, tetap lestari dan bertahan, sebagai pembelajaran untuk masa depan.

Berfoto di samping banner yang menceritakan sejarah Gedung BI

Waktu operasional Perpustakaan BI
Senin – Jumat : 08.00-16.00
Sabtu : 08.00 – 15.00
Minggu : Libur

Alamat : Jl. Taman Mayangkara no.6, Surabaya

Catatan kaki :

    • Pressreader.com
    • Ayorek.org
    • Situsbudaya.id
    • Buku, Mana Soerabaia Koe mengais butiran masa lalu, Nanang Purwono
  • Grafis dan foto dibuat sendiri oleh penulis

Sharing is caring!

10 komentar untuk “Merawat Jejak Kolonial di Perpustakaan Bank Indonesia Surabaya

  1. Bangunannya bagus ya.. pondasi batu dan jendela lebar-lebar itu kayaknya ciri khas bangunan masa Belanda dulu ya ? Dulu di Banyuwangi banyak bangunan kayak gitu, ampe mimpi punya rumah mau punya pondasi batu. Di jakarta jarang adaa. Huhuhu…

  2. Bangunan khas Belanda emang khas, di beberapa daerah masih bsa loh kita jumpai bangunan kyk gini misal d Bogor, Bandung, Balikpapan, di Ambon juga ada.. di Jakarta cuma di Kota tua yg bangunan Belandanya masih kesimpen wkwkwk

    1. mungkin karena lamanya Belanda menjajah Indonesia ya mba, dibanding Jepang yang hanya 3,5 th. makanya banyak bangunan Belanda, itu mba mungkin sangking pesatnya Kota Jakarta y mba banyak butuh lahan..heheheh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *